Surat Kecil Untuk Tuhan: Beda Tema, Beda Pemain. Tapi Masih Terasa Dramatis

Wayan Diananto | 28 Juni 2017 | 13:00 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - Pemain       : Bunga Citra Lestari, Joe Taslim, Lukman Sardi, Teuku Rifnu Wikana, Aura Kasih, Maudy Koesnaedi, Jeroen Lezer

Produser     : Frederica

Sutradara    : Fajar Bustomi

Penulis       : Upi, Fajar Bustomi

Produksi     : Falcon Pictures

Durasi         : 125 menit

Pada 2011, film Indonesia mengalami masa paceklik. Tak ada satu pun film Indonesia yang beredar di jaringan bioskop kala itu mampu merangkul sejuta penonton. Jangankan sejuta, 800 ribu pun tak ada. Film terlaris kala itu, drama horor dengan hawa erotis Arwah Goyang Karawang yang dibintangi Dewi Perssik dan almarhumah Julia Perez. Kesuksesan ini (ditonton 727 ribu orang) sudah terprediksi mengingat sebelum film dirilis, kedua pedangdut ini bikin geger lewat insiden cakar-cakaran. Lalu sebuah kejutan terjadi 5 bulan kemudian.

Sebuah film karya sutradara debutan Harriz Nizam, Surat Kecil Untuk Tuhan, sukses mengumpulkan 748 ribu penonton. Populasi penonton sebanyak itu mengantar Surat Kecil Untuk Tuhan menjadi yang terlaris pada masanya. Lalu sejumlah film dengan tema serumpun dibuat. Di antaranya, Ayah, Mengapa Aku Berbeda? Bintang utamanya pun aktris yang sama, yang membintangi Surat Kecil Untuk Tuhan, Dinda Hauw. Surat Kecil Untuk Tuhan kemudian dibuat versi layar gelas dengan menempatkan Nikita Willy sebagai pelakon utama.

Enam tahun berselang, Surat Kecil Untuk Tuhan (SKUT) kembali naik ke etalase bioskop. Kali ini, ceritanya bukan lagi gadis pengidap kanker yang akhirnya meregang nyawa. Bukan pula Dinda Hauw yang berada di garda depan melainkan, Bunga Citra Lestari. Beda kisah, beda pemain. Namun, konten yang dituturkan menurut saya sama dramatisnya.

Angel (Bunga) diadopsi oleh pasangan suami istri mapan, Soraya (Maudy) dan Edward (Jeroen). Keduanya tinggal di Australia. Di tangan pasangan Soraya-Edward, nasib Angel berubah. Ia kini menjadi pengacara. Mayoritas kasus yang ditanganinya, kekerasan dalam rumah tangga yang menempatkan istri dan anak-anak sebagai korbannya.

Suatu hari, Angel menangani kasus perempuan yang dianiaya suaminya. Perempuan ini punya dua anak, laki-laki dan perempuan. Keduanya lebam dan memar. Melihat kakak beradik ini, Angel teringat masa lalunya. Dulu, Angel seorang pengamen yang meminta-minta uang receh kepada pengendara sepeda motor dan mobil yang berhenti di lampu merah. 
Setiap malam, ia diwajibkan menyetor uang kepada Rudi (Lukman) yang mempekerjakan anak-anak tak berayah tak beribu. Suatu hari, Angel mengalami kecelakaan di perempatan jalan lalu ditolong oleh Soraya dan Edward. Ia dilarikan ke rumah sakit, dirawat, kemudian diadopsi. Peristiwa itu membuat Angel terpisah dari kakak kandungnya, Anton. Apa kabarnya Anton? 

Angel kemudian berupaya melacak keberadaan kakaknya. Ia kembali ke Jakarta, meninggalkan Soraya, Edward, dan pacarnya, Martin (Joe). Yang pertama dilakukannya, melacak keberadaan sesama alumni anak jalanan. Waktu mempertemukan Angel dengan salah satu mantan anak jalanan bernama Ningsih (Aura) dan asisten Rudi, Asep (Teuku).

Kesan pertama menonton SKUT, pewarnaannya yang sangat kontras. Dalam kondisi normal, warnanya cenderung kekuningan. Lalu permainan lampu di lokasi rumah, jalanan, taman bermain, hingga bilik berisi ranjang susun membuatnya tampak semakin warna-warni. Bisa jadi, warna kontras pada 25 menit pertama film ini untuk menunjukan ironi yang menyolok.

Anak-anak mestinya menjalani hidup penuh warna. Penuh nyayian, canda tawa, dan minim air mata. Namun yang dialami Angel sebaliknya. Jarang punya uang. Tak ada waktu bermain. Sekalinya mencuri waktu untuk bermain, kepergok Asep dan berujung musibah besar bagi ia maupun kakaknya. Ironi dalam 25 menit pertama ini kian menyayat karena diiringi lagu anak-anak yang selama ini kita kenal seperti “Bintang Kecil” dan “Ambilkan Bulan”.

Kedua lagu ini tak pernah saya dengar di jalanan. Biasanya, dilantunkan dengan mood semringah di pentas seni anak TK atau saat anak-anak bermain di taman. Semua ini paparan visual ini membuat dada sesak dan seandainya mungkin, saya ingin memencet tombol “fast forward” saking tidak tega menyaksikan kisah Angel yang tragis.

Apa yang disuguhkan Fajar pada 25 menit pertama terasa realis namun dengan penggambaran yang terkesan noir. Lalu, cerita berpindah ke era ketika anak-anak itu telah dewasa. Muatan isu yang ditawarkan Upi dan Fajar tak lantas menjadi lebih ringan. Latar belakang hukum yang bersinggungan dengan kekerasan dalam rumah tangga termasuk anak, membuat kisah SKUT menjadi sama beratnya dan sama tragis dengan pendahulunya.

Tidak buruk, mengingat akting Bunga, Joe, Lukman, Rifnu, bahkan Aura Kasih pun berada di level mapan. Eskpresi Bunga saat melihat jepit rambut yang dikenalnya. Mimik Joe saat menelepon dan menyampaikan kabar kurang mengenakkan. Wajah dingin Lukman saat berinteraksi dengan Bunga. Bahkan momen sederhana saat Bunga dan Aura berada di mobil melintasi jalanan pun mengena di hati.

SKUT jika dibandingkan dengan versi 2011 (tanpa bermaksud membandingkan kontennya yang sudah jelas berbeda) terasa lebih matang dalam konsep maupun penuturan. Fajar tampaknya sadar bahwa tanpa diapa-apakan pun, naskah Upi sudah sangat drama. Jadi, tak perlu lagi didramatisir sedemikian rupa agar penonton termehek-mehek. 

Hanya, konten film ini memang berat. Untuk momen Lebaran (dan jika dibandingkan dengan tiga lainnya), SKUT lebih berat untuk dicerna. Belum lagi, tuturan SKUT di tengah jalan terasa agak tersendat. Sementara penonton, pada momen Lebaran biasanya mau yang santai-santai dan enteng-enteng saja. Menonton film hanya untuk memeriahkan suasana perkumpulan keluarga. Pada akhirnya, pilihan tetap ada di tangan Anda. Yuk? 

(wyn/ari)

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait